Aku menegakkan kepalaku.
Instingku mengatakan ada sesuatu yang memperhatikan aku atau mungkin lebih
tepatnya seseorang. Yah...bukannya aku suka Gede Rasa alias GR, tetapi
begitulah yang terjadi bila indera ke-enamku sudah aktif. Akibatnya bisa ditebak,
aku jadi penasaran. Aku harus tahu siapa yang memperhatikanku.
Sambil berusaha menunjukkan sikap
santai, aku menyenderkan punggungku ke deretan bangku berlapis busa tipis dan
melemaskan otot-otot leherku. Seraya melakukan itu, mataku berusaha melirik ke sebelah kiriku.
Mencari-cari orang yang mau-mau-nya memperhatikan aku dengan sembunyi-sembunyi
pula. Sekali lagi bukannya aku GR.
Di sebelah kiriku, ada seorang gadis. Sepertinya anak kuliah yang baru pulang dari kampus, dan ... dia
menatapku terang-terangan dengan senyum tersungging di bibir-nya.
Menatapku?
Hem...sepertinya feeling-ku soal ‘memperhatikan secara
sembunyi-sembunyi’ ini salah.
Tak peduli dengan tatapan gadis
itu, Aku kembali menyandarkan kepalaku ke bangku kereta ini. Sambil menatap
lurus ke bangku seberang. Di bangku itu duduk berjajar beberapa orang. Tetapi yang
langsung berhadapan denganku adalah dua orang ibu-ibu berkerudung, sedang
berbisik-bisik sambil tersenyum melihat ke arahku. Di sebelah kanan mereka,
duduk seorang pemuda yang sepertinya juga sedang menahan senyuman sambil
melirik ke arahku.
“Baiklah,” Ucapku dalam hati,“Aku
harus mengakui bila hari ini indera
ke-enam-ku sepertinya dalam kondisi ‘error’.”
Sambil menelan ludah, kupaksakan diri untuk membetulkan posisi dudukku yang
hampir merosot. “Sekarang waktunya berpikir, dan cari tahu. Mengapa semua orang
menatapku sambil senyum-senyum?” Otakku berputar.
“Apa ada kotoran dimukaku?” Dengan
gaya seolah-olah tidak sengaja, aku mengusap mukaku. Setelah itu, kuusap pula
rambutku. Sekalian memeriksa. Siapa tahu rambutku ternyata tiba-tiba sedang
berdiri semua.
“Stasiun Pondok Cina.” Dengung
suara masinis terdengar dari speaker untuk memberitahukan penumpang nama
stasiun pemberhentian berikutnya. Segera terlihat beberapa orang berdiri.
Rupanya di stasiun ini ramai penumpang turun. Termasuk, dua orang ibu berkerudung
itu.
Sambil membetulkan tas sandangnya
di bahu, salah satu ibu yang ‘berbisik-bisik’ itu menegurku.
“ Mas...”
Aku yang memang duduk di samping
pintu keluar, mau tidak mau mendengar sapaan ini, dan mengangguk tanda
menanggapi.
“Sampeyan ini ternyata lelaki
romantis ya? Gak sangka kalau penampilan luar metal banget dan hitam-hitam begini bisa-bisanya serius baca surat merah jambu
begitu warnanya! Wah..wah...itu surat dari penggemar, pacar, atau istri, Mas? Iki temen-ku juga kagum loh...rambut
gondrong, jaket kulit hitam, celana kulit hitam, pake tato segala di lengan..tapi
bisa romantisss yaa!! Beruntung sekali pengirim surat merah jambu itu. Lelaki-nya ternyata berhati pujangga nih!” Si
ibu berkata keras-keras, dan tertawa. Membuat semua orang yang berdiri
bersamanya, juga orang-orang yang duduk disampingku, ikut tertawa mendengar
ucapan si ibu (atau menertawakan aku ya?)
Aku tertawa. Lega.
Aku memperhatikan surat yang
sedari tadi aku baca dalam genggamanku. Surat itu dari anak perempuanku, Sinta.
Dia sedang menuntut ilmu di negara Inggris. Hasil kerja kerasnya belajar dan
mendapat beasiswa S2. Semua kabar Sinta ditulis diatas kertas merah jambu itu,
dengan amplop warna senada. Warna kesukaan Sinta. Aku paham sekarang.
Dengan riang hati aku keraskan
tawaku,“Boleh dong 'tampang' metal hati mellow! Ya kan?” Ucapku keras.
Dan ibu-ibu itu pun semakin geli
tertawa.
----
"Flash Fiction ini disertakan
dalam Giveaway
BeraniCerita.com yang diselenggarakan oleh Mayya dan Miss Rochma."
Sumber Gambar: Wardahart.blogspot.com
Sumber Gambar: Wardahart.blogspot.com
wiw~
BalasHapussurat dr anaknya ternyata :D
sukses buat GAnya :D
Cihuyyyy...
BalasHapusdapet surat cinta ya?
Cool, lucu banget! Aku suka. Thumbs up!
BalasHapus@Jiah al jafara...iya, terimakasih:D
BalasHapus@Siti Nurjanah...ehem*batuk-batuk*
@Mama Obito...:)..lagi bosen sama ide yang murni cinta-cintaan cowok-cewek.
Terimakasih sudah berkunjung^^